Rabu, 27 April 2011

SKS (Sistem Kebingungan Sekolah)

Tanggal 12 Desember 1948, Agnes Gonxha Bojaxhiu atau yang kemudian dikenal sebagai Ibu Teresa, mendirikan sekolah di sebuah wilayah kumuh India. Sekolah gratis ini didedikasikan untuk anak-anak dari keluarga miskin. Namun, akibat tidak cukupnya dana untuk membangun gedung sekolah, Ibu Teresa melakukan proses belajar mengajar secara terbuka di sebuah taman yang sudah tidak lagi terawat.

Belajar membaca dan menulis menjadi materi dasar para anak asuh Ibu Teresa. Lebih dari itu, Ibu Teresa juga mengajarkan cara-cara menjaga kesehatan diri dan lingkungannya.

Sekelumit pengabdian Ibu Teresa mengingatkan kita pada dua pilar dasar pendidikan yaitu terbuka dan kontekstual. Pendidikan tidak dapat diberikan hanya untuk kaum berduit, tetapi juga untuk kaum yang dianggap pinggiran. Pendidikan harus bersifat universal yang terjangkau semua lapisan masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada lagi sekolah berlabel khusus dengan biaya yang sangat mahal dan hanya mampu "dibeli" oleh keluarga berkemampuan ekonomi tinggi.

Pendidikan yang dicontohkan Ibu Teresa menunjukkan kekinian sebuah pembelajaran. Pendidikan harus selalu berkembang sesuai dengan konteks situasi, lingkungan, maupun karakter para peserta didik. Cara menjaga kesehatan diri dan lingkungan menjadi hal yang lebih mutlak diperlukan bagi anak-anak di kawasan kumuh daripada belajar Fisika maupun Kimia.

Universal
Sistem kredit semester (SKS) di jenjang pendidikan SMP dan SMA yang diwacanakan pemerintah dikhawatirkan justru akan bertolak belakang dengan pola pendidikan yang bersifat universal seperti diperjuangkan Ibu Teresa, peraih Nobel Perdamaian. SKS hanya dapat diterapkan jika sekolah memiliki jumlah kelas yang memadahi untuk moving class. Akibatnya, hanya sekolah dengan sarana lengkap yang dapat menerapkan sistem ini. Sekolah pinggiran dengan kelas kecil rawan tergilas dengan kebijakan ini. Belum lagi jika SKS menjadi ajang jual-beli. Bukan lagi membayar SPP per bulan, tetapi membayar per SKS dengan akumulasi harga yang bisa membumbung tinggi. Alih-alih dari situasi ini adalah bisnis pendidikan, antikeluarga kurang mampu, dan pendidikan yang tidak lagi bersifat terbuka serta universal.

Lambat laun kita akan terjebak dalam dilema seperti program Sekolah Berstandar Internasional (SBI). Harapan ingin membuat siswa berwawasan internasional justru memunculkan sekat pendidikan antara si kaya dengan si miskin. SBI tidak lagi dapat dijangkau oleh seorang siswa cerdas dengan ekonomi orangtua pas-pasan. Sekolah pinggiran dengan sedikit siswa, fasilitas kurang, dan gedung yang hampir roboh makin merana manakala dana Rp 500 juta per tahun justru digelontorkan bagi sekolah berlabel SBI yang notabene telah memiliki tataran SPP sangat mahal. Apakah tidak lebih baik jika pemerintah terlebih dulu memperbaiki fasilitas belajar dan peningkatan kompetensi guru, sebelum menerapkan SKS?

Keutuhan pribadi
Penerapan kurikulum dengan SKS memang cocok jika diterapkan pada jenjang perguruan tinggi. Penggunaan SKS pada tataran pendidikan dasar, khususnya tingkat SMP, perlu dikaji lebih mendalam dengan mempelajari konteks para peserta didik. Peserta didik pada usia remaja tidak sekadar ingin memperoleh transfer ilmu. Lebih dari itu, mereka membutuhkan sosialisasi dan penyadaran relasi dengan lingkungan sesuai dengan masa perkembangan psikologisnya.

Menurut Piaget, sebagian besar perkembangan kognitif datang dari sebuah pengalaman fisik, tindakan, dan interaksi aktif anak dengan lingkungan. Sementara itu, interaksi sosial dengan teman sebaya akan membantu memperjelas pemikiran untuk mencapai sebuah pemikiran yang logis analitis.

Masih menurut Piaget, setiap individu dari bayi yang baru lahir sampai dewasa mengalami empat tingkat perkembangan kognitif, yaitu tingkat sensori motorik, praoperasional, operasional konkret, dan operasi formal. Usia remaja SMP merupakan pengenalan tahapan operasional formal. Pada usia ini yang perlu dipertimbangkan adalah aspek-aspek perkembangan psikologis remaja. Remaja mengalami tahap transisi bernalar dari penggunaan operasional konkret ke penerapan operasi formal. Mereka mulai menyadari keterbatasan-keterbatasan pemikiran dan mulai bergelut dengan konsep-konsep yang ada di luar pengalaman mereka sendiri. Ini berarti, mereka membutuhkan lebih banyak interaksi sosial untuk menciptakan sebuah pengalaman.

Dengan menerapkan SKS, seorang peserta didik dimungkinkan dapat menyelesaikan tingkat pendidikannya hanya dalam tiga atau empat semester dari enam semester yang ditawarkan. Hal ini tidak berbeda jauh dengan program kelas akselerasi yang menampung anak-anak cerdas dan menyelesaikan suatu jenjang pendidikan lebih cepat dari seharusnya. Lepas dari kebingungan pemerintah tentang ujian nasional yang dihubungkan dengan pemberlakuan SKS (Kompas, 26/8/2010); jika tidak hati-hati, seperti diungkapkan C Wright Mills, pendidikan akan mengalami reduksi nalar menjadi rationality without reason dengan menghasilkan produk cheerful robots; punya rasio tanpa akal budi. Padahal, suatu pendidikan seharusnya sejalan dengan Pasal 26 Universal Declaration of Human Rights Ayat 2 yang menyatakan, pendidikan ditujukan ke arah perkembangan kepribadian manusia serta untuk memperkokoh penghargaan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia. Dengan kata lain, pendidikan bertujuan membentuk pribadi yang utuh, bukan sekadar berilmu pengetahuan.

R Arifin Nugroho
R ARIFIN NUGROHO Guru SMA Kolese De Britto, Yogyakarta
Baca Selengkapnya...

Jumat, 22 April 2011

Siap Berimajinasi Lewat Buku?

KOMPAS.com - Bagi para pecinta buku, "The Imaginative World: Creativity in Literacy" akan menjadi ajang menarik berupa pameran ilustrasi buku-buku anak, workshop dan diskusi, serta pergelaran seni dan budaya dan pertemuan berbagai komunitas pada perayaan World Book Day Indonesia ke-VI yang akan diselenggarakan pada:
  • Tanggal: 23 April - 17 Mei 2011
  • Tempat: Museum Mandiri - Jl Lapangan Stasiun No 1 Kota – Jakarta Kota
Baca Selengkapnya...

Kiat Melamar Beasiswa ke Jepang

Oleh: Dr Jumiarti Agus

JAKARTA, KOMPAS.com — Setiap orang punya kiat berbeda, namun tetap saja kiat umum yang dilakukan lebih kurang sama. Alhasil, begitu Anda memutuskan memilih Jepang sebagai tempat studi dan berjuang mendapatkan gelar profesor, tahapan pertama yang harus dilalui adalah mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi.

Sama halnya ketika ingin mencari pekerjaan, tentu Anda pun harus tahu tentang perusahaan yang akan dilamar. Begitu juga ketika memutuskan untuk studi ke Jepang, mulailah mengumpulkan dan menggali informasi lebih luas dan dalam. Bisa saja informasi oral dari seseorang yang pernah sekolah di Jepang, melalui buku, internet, surat kabar, dan sebagainya. Informasi tersebut, misalnya, mulai tentang dinamika sekolah di Jepang, suka dan duka sekolah di negeri orang, biaya, dan lain-lainnya.

Budaya dan perilaku orang Jepang

Sangat penting mengetahui budaya, perilaku, dan karakter orang Jepang. Hal tersebut sangat erat hubungannya dengan adaptasi Anda kelak, baik di sekolah maupun di lingkungan tempat tinggal. Dengan demikian, akhirnya Anda tidak terkaget-kaget ketika hidup di Jepang. Banyak yang tidak bisa survive studi dan hidup di Jepang hanya lantaran tidak berhasil beradaptasi. 

Sistem pendidikan

Sebaiknya Anda juga harus mengetahui informasi khusus terkait pilihan studi, baik untuk jenjang D-3, S-1, S-2, maupun S-3. Pelajari juga sistem pendidikannya karena masing-masing tingkatan sangat berbeda, misalnya di Tanah Air, S-1, S-2, dan S-3 merasakan kuliah di dalam kelas.

Di Jepang, mahasiswa S-3 tidak perlu mengambil kelas. Untuk lulus S-3, Anda harus mampu membuat publikasi di jurnal internasional, sesuai dengan persyaratan di departemen Anda dan masih banyak lagi hal lain.

Informasi tentang beasiswa

Anda juga harus mencari informasi-informasi tentang beasiswa yang tersedia. Bisa didapatkan di kedutaan besar, melalui koran, internet, melalui situs perguruan tinggi di Jepang, atau mendatangi presentasi beasiswa yang sering dilakukan di Tanah Air. Silakan mempelajari semua informasi dan persyaratan untuk melamar beasiswa tersebut, yang salah satunya bisa dilihat di Kompas.com ini edukasi.kompas.com/beasiswa.

Informasi tentang iklim

Terbentang membentuk busur pada arah barat laut Samudra Pasifik di tepi timur Benua Eurasia, negara Jepang terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil, dengan luas sekitar 378.000 km² membentang dari selatan ke utara sepanjang 2.500 km dan terletak pada sekitar 20°-46° LU. Pulau-pulau utamanya adalah Hokkaido, Honshu, Shikoku, Kyushu, dan Okinawa.

Honshu terbagi dalam 5 daerah, yaitu Tohoku, Kanto, Chubu, Kinki, dan Chugoku. Sekitar tiga perempat dari daratan Japang terdiri atas daerah pegunungan dan perbukitan, sedangkan tanah datar yang tersedia untuk lahan dan pengembangan kota sangat terbatas. Di daerah yang terbatas inilah tinggal lebih kurang 130 juta penduduk.

Iklim Jepang berubah dengan pergantian 4 musim yang jelas karena Jepang terletak hampir di pusat daerah beriklim sedang. Musim semi dan musim gugur sangat nyaman. Pada musim panas (Juli-Agustus) angin bertiup dari Samudra Pasifik sehingga menjadikan Jepang sangat panas. Sebaliknya, pada musim dingin (Desember-Februari) angin bertiup dari daratan dan menjadikan Jepang sangat dingin.

Di Kepulauan Hokkaido, pada bulan Juni berlangsung tsuyu (musim hujan) dan hampir setiap hari turun hujan. Di samping itu, karena kepulauan Jepang memiliki struktur daratan yang rumit dan memanjang dari selatan ke utara, adanya perbedaan iklim yang mencolok antardaerah merupakan kekhasan tersendiri.

Di Hokkaido dan Honshu sekitar Laut Jepang, pada musim dingin curah saljunya tinggi. Dengan memanfaatkan perubahan musim seperti ini, berbagai macam olahraga pantai dan olahraga musim dingin bisa dinikmati dengan menyenangkan.

Musim dingin sangat dingin dan musim panas pun sangat panas. Untuk hal ini dibutuhkan kondisi fisik yang kuat. Oleh karena itu, kondisi fisik yang sehat adalah suatu persyaratan mutlak yang harus Anda penuhi.

Dus, jangan Anda membohongi kondisi kesehatan Anda! Khususnya pada saat Anda melakukan pengisian formulir beasiswa. Dalam beberapa kasus, mahasiswa mengundurkan diri karena alasan kesehatan. Untuk itu, semakin dalam Anda mengetahui informasi yang sudah semestinya Anda ketahui, semakin besar pula semangat juang dan kesempatan mendapatkan beasiswa dan studi di Jepang.

Penulis adalah alumnus Tokyo Institute of Technology dan Peneliti di Aku Cinta Indonesia Kita (ACIKITA) di Tokyo, Jepang
Baca Selengkapnya...

Wuahh... Daftar Beasiswa ke Jepang Ada di sini!

JAKARTA, KOMPAS.com — Salah satu program dalam kepengurusan Persatuan Pelajar Indonesia Jepang pada 2010 adalah membuat situs berisi tentang berbagai daftar beasiswa untuk melanjutkan studi ke Jepang. Meski belum terlalu lengkap, situs ini bisa dijadikan rujukan awal untuk mencari beasiswa di Negeri Sakura tersebut.

Komite Beasiswa PPI Jepang merupakan salah satu bagian dari kepengurusan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang yang merancang situs ini sebagai situs pusat informasi beasiswa. Situs ini memuat tiga unsur besar informasi beasiswa, yaitu informasi beasiswa untuk pelajar Indonesia yang ingin belajar ke Jepang; informasi beasiswa bagi para pelajar di Indonesia yang dikoordinasikan oleh lembaga-lembaga di Jepang, baik itu perkumpulan pelajar maupun lembaga NGO lainnya; dan yang ketiga sebagai informasi beasiswa untuk mahasiswa Indonesia yang sudah berada di Jepang.

Dilihat dari menu informasinya, situs ini bisa dijadikan rujukan awal untuk mencari berbagai informasi seputar beasiswa di Jepang, baik dari pihak yang sedang mencari beasiswa maupun donatur. Tampilan situs ini juga bisa menjadi ajang diskusi menarik dan informatif seputar beasiswa.
Tertarik dengan list beasiswa di beasiswa.ppijepang.org/ ini?
Baca Selengkapnya...

Buruan, Beasiswa Ini Khusus Lulusan SMA!

KOMPAS.com — Kedutaan Besar Jepang kembali menawarkan Beasiswa Pemerintah Jepang (Monbukagakusho) kepada siswa-siswi Indonesia lulusan SLTA untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas (S-1), College of Technology (D-3), atau Professional Training College (D-2) di Jepang mulai tahun akademik 2011 (April 2011).

Untuk beasiswa ini, pelamar hanya bisa mendaftar pada satu dari tiga program yang ditawarkan tersebut. Syarat utamanya, calon pelamar lahir antara tanggal 2 April 1989 dan 1 April 1994.

Sebagai syarat akademis, pelamar harus sudah lulus SLTA dan memiliki nilai rata-rata ijazah atau rapor kelas 3 semester atau catur wulan terakhir minimal 8,4, (program S-1 ), 8,0 (program D-3 ), dan 8,0 (program D-2). Jika pada saat penutupan pendaftaran nilai ijazah asli belum bisa dikeluarkan, maka nilai ijazah sementara dari kepala sekolah bisa diterima.

Bagi yang tertarik, formulir pendaftaran dapat diperoleh secara gratis mulai Senin (10/5/2010) di Kedutaan Besar Jepang atau Konsulat Jenderal Jepang di Surabaya dan Medan. Mereka yang tinggal di luar kawasan Jabodetabek, Surabaya, dan Medan dapat melamar melalui surat yang ditujukan kepada Kedutaan Besar Jepang di Jalan MH Thamrin 24 Jakarta Pusat 10350, Konsulat Jenderal Jepang Surabaya, atau Konsulat di Medan.

Keterangan lebih lanjut bisa menghubungi Bagian Pendidikan Kedutaan Besar Jepang di 021-3192-4308 Ext 175/176 atau klik di sini. Untuk syarat-syarat lebih detailnya bisa diunduh langsung di sini. Pendaftaran beasiswa ini ditutup pada 10 Juni 2010.
Baca Selengkapnya...

Jepang Tetap Buka Beasiswa 2012, Mau?

JAKARTA, KOMPAS.com — Program beasiswa pendidikan di perguruan tinggi di Jepang untuk tahun 2012 tetap diberikan melalui Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia. Lewat program beasiswa Pemerintah Jepang (Monbukagakusho), mahasiswa Indonesia bisa melanjutkan pendidikan di universitas di Jepang sebagai mahasiswa peneliti atau research student.

Mahasiswa yang menjalani research student diperbolehkan melamar ke program degree (master/doktor, professional graduate course) atau meneruskan program doktor setelah menyelesaikan program master atau professional graduate course, apabila lulus seleksi tes ujian yang diberikan oleh universitas yang bersangkutan.

Pelamar yang diperbolehkan mengikuti program ini lahir pada dan setelah 2 April 1977. IPK dari universitas tempat belajar terakhir minimal 3,0>. Nilai TOEFL minimum 550 atau ekuivalen.

Formulir pendaftaran dapat diambil secara gratis di Kedutaan Besar Jepang di Jakarta serta Konsulat Jenderal Jepang di Surabaya dan Medan. Formulir juga dapat diunduh di http://www.id.emb-japan.go.jp.
Dokumen lamaran dikembalikan sebelum 11 Mei 2011.

Berdasarkan keterangan resmi dari Kantor Informasi dan Kebudayaan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta, meskipun bencana gempa besar di wilayah timur Jepang terjadi baru-baru ini, namun tidak berpengaruh pada kegiatan pendidikan. Universitas-universitas Jepang tetap menyelenggarakan kegiatan perkuliahan dan penelitian seperti biasanya.
Baca Selengkapnya...

Masih Mau Studi ke Jepang?

KOMPAS.com — Pascagempa dan tsunami, Jepang justeru tidak menyurutkan langkah mengundang mahasiswa internasional untuk menimba ilmu di negaranya. Informasi terbaru mengenai pendidikan di Jepang bisa didapatkan dari The Ministry of Education, Culture, Sports, Science and Technology of Japan (MEXT) melalui program "Global 30" yang salah satunya bisa dilihat di pameran pendidikan di:
Jakarta
  • Hari: Sabtu (14 Mei 2011)
  • Pukul: 10.00-16.00
  • Tempat: Auditorium Arifin Panigoro-Lt 3/Universitas Al Azhar Jakarta
Bandung
  • Hari: Minggu (15 Mei 2011)
  • Pukul: 10.00-16.00
  • Tempat: Aula Timur Institute Teknologi Bandung (ITB)/Jalan Ganesha 17, Bandung
Yogyakarta
  • Hari: Selasa (17 Mei 2011)
  • Pukul: 10.00-16.00
  • Tempat: Graha Sabha Pramana, Universitas Gadjah Mada-Kampus Bulaksumur, Yogyakarta
 Informasi: http://www.uni.international.mext.go.jp
Baca Selengkapnya...

Pelajar Indonesia ke Penelitian Dunia

JAKARTA, KOMPAS.com - Penelitian siswa SMP dan SMA Indonesia memiliki daya saing internasional. Bahkan, hasil penelitian pelajar remaja Indonesia menempatkan negeri ini jadi peserta terbaik selama dua tahun berturut-turut pada tahun 2009 dan 2010 dalam ajang International Conference of Young Scientist (ICYS).

Sebanyak 12 siswa SMP dan SMA dari berbagai sekolah mewakili Indonesia dalam penyelenggaraan ICYS 2011 di Moscow, Rusia, pada 24-29 April nanti. Para duta pelajar Indonesia ini dilepas Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Djalal di Jakarta, Kamis (21/4/2011) sore tadi.

Pelajar SMP yang mewakili Indonesia adalah Fialdy Josua Pattirajawane dan Michael Sunarto (keduanya dari SMP Chandra Kusuma Medan), Christa Lorenzia Soesanto (SMP St.Laurensia Tangerang), serta Ganang Albryansyah (SMPN 1 Bontang). Pelajar SMA yang mewakili Indonesia adalah Arief Ridho Kusuma (SMAN 1 Samarinda), Reza Abdurahmnab (SMA Taruna Nusantara Magelang), Luthfi Mu'awan (SMAN 1 Purwareja), Luh Laksmi Dharayanti Satria (SMAN 1 Singaraja), Ninda Frisky dan Annisa Fitriani (keduanya dari SMAN 1 Yogyakarta), Jessica Lo (SMAK Cita Hati Surabaya)n serta Christy Hong (SMA St.Laurensia Tangerang).

Fasli mengatakan potensi pelajar Indonesia dalam penelitian perlu dikembangkan. Sebab, mereka adalah generasi muda yang dibutuhkan bangsa untuk menjadi penemu-penemu, yang nantinya mendukung pengembangan ekonomi bangsa yang berbasis ilmu pengetahuan.

Monika Raharti, Koordinator ICYS Indonesia, menjelaskan ICYS merupakan lomba presentasi penelitian untuk siswa sekolah menengah yang bertaraf internasional. Bidang yang dilombakan adalah Fisika, Matematika, Ekologi, dan Ilmu Komputer.

ICYS digagas Dua universitas terkemuka di. Hongaria dan Belarusia pada tahun 1993. Setelah itu, lomba dilaksanakan secara bergiliran di negara-negara Eropa. Indonesia jadi negara Asia pertama yang pernah jadi tuan rumah.

"Lomba ini untuk menggali potensi peneliti muda yang kelak dapat berperan dalam penemuan dan pengembangan sains untuk meningkatkan kualitas hidup manusia di dunia," jelas Monika.
Baca Selengkapnya...

Senin, 11 April 2011

PTN, Bukalah Pintumu Selebar-lebarnya!

JAKARTA, KOMPAS.com - Hasil ujian nasional (UN) bisa saja dijadikan acuan seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN), tetapi tidak bisa multak. Jika ingin dibuat mutlak, nilai UN harus bersifat komprehensif, yang bisa memperlihatkan karakter peserta didik.
Seluruh siswa harus memilik akses ke perguruan tinggi. Membuka pintu selebar-lebarnya dan dilakukan seleksi secara komprehensif.
-- Suparman

Demikian diungkapkan Ketua Umum Forum Guru Independen Indonesia (FGII) Suparman di Jakarta, Selasa (24/11/2010). Suparman mengatakan, meskipun UN bisa dijadikan acuan SMPTN, alangkah baik dan sempurnanya jika SMPTN tetapi dilakukan sendiri lagi.

"Jangan sampai ada banyak kebocoran di dalamnya," imbuh Suparman.
Dia menambahkan, di sisi lain PTN hendaknya juga meminta penilaian siswa secara keseluruhan pada tingkat SMA, termasuk portfolio siswa. Penyaringan siswa, lanjut dia, lebih cocok jika seperti yang ada pada PMDK (Penelusuran Minat, Bakat dan Kemampuan).

"Semua anak berhak ikut seleksi masuk, tetapi tidak semua bidang, untuk itu perlu diadakan juga PMDK," pungkas Suparman.

Menurut Suparman, jika SMPTN tidak dilakukan dan siswa yang sudah duduk di perguruan tinggi ternyata tidak memenuhi kriteria, dikhawatirkan akan mengurangi hak-hak siswa lain yang lebih mampu.

"Seluruh siswa harus memilik akses ke perguruan tinggi. Membuka pintu selebar-lebarnya dan dilakukan seleksi secara komprehensif," imbuh Suparman.
Baca Selengkapnya...

PTN Tolak Nilai UN Jadi Parameter

PADANG, KOMPAS.com - Sejumlah rektor perguruan tinggi negeri (PTN) menolak nilai ujian nasional (UN) dijadikan parameter masuk PTN. Mereka menilai masih banyak masalah dalam penyelenggaraan UN sehingga banyak hal yang harus dibenahi.
Meskipun UN tidak dijadikan parameter masuk PTN, UN tetap digunakan sebagai syarat mutlak untuk mendaftar ke perguruan tinggi negeri.
-- Badia Perizade

Pembantu Rektor I Universitas Andalas Padang Febrin Anas Ismail, Selasa (5/4/2011) kemarin di Kota Padang, mengatakan, sejumlah daerah melakukan berbagai cara untuk menaikkan nilai rata-rata UN karena menganggap nilai UN menyangkut gengsi daerah. Hal ini tentu tidak bisa diterima PTN.

Rektor Universitas Sriwijaya Palembang Badia Perizade mengatakan, cakupan UN terlalu luas dan diikuti seluruh siswa kelas 12 SMA/SMK. Padahal, PTN membutuhkan kualifikasi khusus untuk menjadi calon mahasiswa. Karena itu, PTN melakukan seleksi masuk melalui SNMPTN (seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri) maupun melalui jalur undangan.

"Meskipun UN tidak dijadikan parameter masuk PTN, UN tetap digunakan sebagai syarat mutlak untuk mendaftar ke perguruan tinggi negeri," ujar Badia.

Secara terpisah, Pembantu Rektor I Universitas Negeri Makassar (UNM) Prof Sofyan Salam mengatakan, sejumlah program studi di PTN membutuhkan kompetensi khusus bagi calon mahasiswanya sehingga UN tidak bisa dijadikan parameter masuk PTN. Sofyan mencontohkan, Fakultas Ilmu Keolahragaan UNM memberlakukan tes fisik dan wawancara selain tes tertulis untuk para calon mahasiswa. (INK/IRE/SIN)
Baca Selengkapnya...

"UN Bocor Lagi, Kok Mau Jadi Parameter!"

JAKARTA, KOMPAS.com - Kurang dari dua minggu akan dilaksanakan secara serentak, naskah ujian nasional (UN) 2011 sudah lebih dulu bocor. Kredibilitas UN semakin jauh untuk dipercaya dan diterima sebagai parameter masuk perguruan tinggi negeri (PTN).
Kita tentu masih ingat ucapan Ketua Majelis Rektor PTN tahun lalu, bahwa PTN akan melihat hasil UN tahun 2011, kalau kredibel akan kita pertimbangkan sebagai parameter. Nyatanya tidak.
-- Priyo Suprobo

"Susah kalau mau dijadikan paramater. Pertama, ya itu tadi, belum dilaksanakan saja sudah bocor duluan. Saya dan kita tentu masih ingat ucapan Ketua Majelis Rektor PTN tahun lalu, bahwa PTN akan melihat hasil UN tahun 2011, kalau kredibel akan kita pertimbangkan sebagai parameter. Nyatanya kan tidak," ujar Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Priyo Suprobo, kepada Kompas.com, Rabu (6/4/2011).

Sebelumnya beredar kabar, bahwa jawaban soal UN 2011 sudah bocor di Jawa Timur. Para pelaku yang tidak bertanggungjawab telah mengomersialisasikan jawaban UN dengan menjualnya harga Rp 13 juta. Tarif tersebut berlaku untuk paket kunci jawaban dengan jaminan seratus persen benar.

"Kalau hanya ingin menerima kunci jawaban dengan tingkat kebenaran 60 persen, cukup membayar Rp 8 juta. Tapi, kalau mau satu paket, ya, Rp 13 juta," kata Ketua Dewan Pendidikan Jatim, Zainuddin Maliki saat ditemui di sela rapat pengamanan UN di Dinas Pendidikan Jatim, kepada Surya, Senin (4/4/2011) lalu.

Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya ini secara terang-terangan menyampaikan adanya kabar bocoran jawaban itu di forum rapat. Dia meminta hal itu menjadi perhatian serius semua pihak.

"Memang tawaran ini menarik. Sebab pelaku juga menjual dengan sistem per mata pelajaran. Tarif untuk setiap satu mata pelajaran dengan tingkat kebenaran kunci jawaban seratus persen, dijual dengan harga Rp 2 juta. Namun pelaku juga berani memasang tarif Rp 1 juta bagi mereka yang menginginkan jawaban yang tidak 100 persen benar," ujarnya.
Baca Selengkapnya...

88,8 Persen Sekolah di Bawah Standar

JAKARTA, KOMPAS.com — Sampai saat ini, 88,8 persen sekolah di Indonesia, mulai SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar pelayanan minimal. Pada kondisi itu, pemerintah justru gencar menggelontorkan dana untuk menciptakan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI).
Kalau buru-buru mengejar RSBI, kesenjangan makin tajam.
-- Theresia EE Pardede

Berdasarkan data yang ada, 40,31 persen dari 201.557 sekolah di Indonesia di bawah standar pelayanan minimal (SPM), sedangkan 48,89 persennya pada posisi SPM. Hanya 10,15 sekolah yang memenuhi standar nasional pendidikan.

Pemerintah menggenjot rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) 0,65 persen. Kondisi itu terungkap dalam rapat kerja Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh dan Komisi X DPR di Jakarta, Senin (21/3/2011) malam. Rapat membahas dana alokasi khusus, postur anggaran pendidikan 2010, persiapan ujian nasional, hingga SBI. Pada jenjang pendidikan dasar, hingga kini layanan pendidikan mulai dari guru, bangunan sekolah, fasilitas perpustakaan dan laboratorium, buku-buku pelajaran dan pengayaan, serta buku referensi masih minim.

Pada jenjang SD, baru 3,29 persen dari 146.904 sekolah yang masuk kategori sekolah standar nasional (SSN) atau sekolah ideal. Sebanyak 44,84 persen layanan pendidikan SD bahkan di bawah SPM. Sebanyak 51,71 persen lainnya baru masuk kategori standar minimal. Pada jenjang SMP, 28,41 persen dari 34.185 sekolah masuk kategori SSN. Lainnya, 26 persen SMP masuk kategori di bawah SPM dan 44,54 SMP memenuhi SPM.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 15 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar memuat ketentuan minimal yang harus dipenuhi sekolah. Untuk lokasi SD, misalnya, mesti terjangkau jalan kaki maksimal 3 kilometer. Sementara untuk SMP 6 km.

Dalam satu rombongan belajar SD, maksimal siswa 32 orang, sedangkan SMP 36 orang dan harus ada ruang kelas dilengkapi meja dan kursi sesuai jumlah siswa. Kenyataannya, banyak sekolah berjubel siswa dengan mebeler tak memadai.

Guru di SD minimal 6 orang. Di SMP, satu guru untuk tiap mata pelajaran. Itu pun belum bisa dipenuhi. Soal buku teks yang harus disediakan sekolah hingga kini belum terpenuhi.
Theresia EE Pardede (Fraksi Partai Demokrat) mempertanyakan kesenjangan tajam itu.

"Kalau buru-buru mengejar RSBI, kesenjangan makin tajam," katanya.
Menurut Nurhasan Zaidi (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera), jika sekolah di kategori SPM banyak, mesti ada skala prioritas.

"Lompatan ke RSBI menciptakan ketimpangan yang menjadi-jadi. Apalagi jika yang dikejar cuma agar siswa jago bahasa Inggris. Jepang justru menerjemahkan buku asing ke bahasa Jepang untuk transfer ilmu pengetahuan dan teknologi," katanya.

Mendiknas mengatakan, tiap sekolah harus naik kelas.
"Kami tetap mengembangkan SBI, tetapi tentu dengan jaminan mutu yang diawasi ketat," kata Mohammad Nuh. (ELN)
Baca Selengkapnya...

Tak Ada Kelas, Mau Sekolah di Mana?

BANDUNG, KOMPAS.com — Pekerjaan rumah sektor pendidikan di Indonesia ternyata masih juga terhambat pada fasilitas-fasilitas mendasar seperti ketersediaan sekolah. Sampai saat ini, banyak lulusan pendidikan dasar yang gagal melanjutkan sekolah karena memang tidak ada kelas yang bisa menampung.
Saya tidak tahu bagaimana hitung-hitungannya, di mana yang salah sehingga 38 persen lulusan SMP dipaksa tidak sekolah.
-- Ahmad Heryawan

Hal tersebut diungkapkan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan di sela-sela peresmian Pusat Training Huawei dan STEI ITB di Bandung, Senin (11/4/2011). Di Jawa Barat, misalnya, kata Heryawan, saat ini ada 38 persen lulusan SMP dipaksa putus sekolah karena jumlah SMA yang tersedia tidak bisa menampung.

"Saya tidak tahu bagaimana hitung-hitungannya, di mana yang salah sehingga 38 persen lulusan SMP dipaksa tidak sekolah," kata Heryawan.

Itu pun, jelas Heryawan, dengan asumsi semua ruang kelas yang ada diisi penuh 40 siswa. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pihaknya memperkirakan butuh pembangunan 9.000 kelas baru setiap tahun.

Namun, keterbatasan dana membuat Pemprov Jabar hanya sanggup merencanakan pembangunan 6.000 kelas baru tahun ini. Ia berharap perusahaan swasta bisa turut memenuhi kebutuhan dasar pendidikan tersebut melalui program corporate social responsibility (CSR). Misalnya, kata Heryawan meniru, perusahaan-perusahaan di kawasan bisnis di Bekasi telah berkomitmen menyediakan 1.000 kelas baru tahun ini.
Baca Selengkapnya...

Begadang, Siswa Dikhawatirkan Sakit...

JAKARTA, KOMPAS.com — Rencana SMA Negeri 13 Jakarta yang tetap akan menggelar istigasah jelang ujian nasional (UN) sampai pagi hari dinilai seorang guru di sekolah tersebut sebagai bentuk ketidakmerdekaan. Kepala sekolah yang memutuskan secara sepihak adalah penyebabnya.
Orangtua siswa mengkhawatirkan jika anaknya sakit, karena istigasah sampai pagi. Terlebih itu dekat dengan waktu ujian.
-- Guru

"Terpaksa setuju karena takut, itu bentuk tidak merdeka," kata seorang guru SMAN 13, yang menolak disebutkan namanya, Senin (11/4/2011), di Jakarta.
Guru tersebut menambahkan, istigasah sampai pagi hari merupakan keinginan kepala sekolah secara pribadi. Sebagian besar guru yang menolak terpaksa setuju karena takut dengan kepala sekolah.

"Ini kemauan pribadi kepsek. Wakil dan guru tak berani menolak dalam forum," tambahnya.
Karenanya, mayoritas guru dan beberapa orangtua siswa keberatan hadir di acara itu, Jumat (15/4/2011).

"Mayoritas guru sebenarnya keberatan, bahkan ada beberapa orangtua siswa yang menolak hadir," tambah guru tersebut.

Menurut guru tersebut, para orangtua dan siswa menolak hadir karena istigasah sampai pagi hari itu justru akan merugikan siswa dalam mempersiapkan UN yang tinggal tiga hari lagi, yaitu Senin (18/4/2011). Hal itu mengingat mayoritas siswa tidak biasa tidur larut dan dikhawatirkan jatuh sakit.

"Orangtua siswa mengkhawatirkan jika anaknya sakit, karena istigasah sampai pagi. Terlebih itu dekat dengan waktu ujian," ujarnya lagi.

Seperti diberitakan, SMAN RSBI 13 Jakarta Utara akan menggelar istigasah semalam suntuk. Doa bersama tersebut dilaksanakan mulai pukul 18.30 sampai pukul 05.00 WIB pada Jumat (15/4/2011) atau tiga hari menjelang UN digelar, Senin (18/4/2011). Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas SMAN 13 Nanang Kosasih mengatakan, doa bersama itu dilaksanakan sebagai bekal psikologis para siswa yang akan menghadapi UN.
Baca Selengkapnya...

Istigasah sampai Pagi Terlalu Berlebihan

AKARTA, KOMPAS.com — Rencana istigasah sebagai rangkaian persiapan menghadapi ujian nasional di SMA Negeri 13 Jakarta, Jumat (15/4/2011), dinilai sebagian guru terlalu berlebihan. Beberapa guru dan siswa SMAN 13 yang ditemui Kompas.com, Senin (11/4/2011), menolak disebutkan namanya ketika ditanyai soal rencana istigasah ini.
Saya berharap siswa justru beristirahat yang cukup.
-- Guru

Salah seorang guru menilai, istigasah sampai pagi hari itu sangat berlebihan. Menurut dia, setiap hari siswa sudah melakukan kegiatan rohani, minimal berdoa.

"Sehari-hari kita sudah bergumul dengan doa, kenapa harus begadang," ungkapnya.
"Apakah dengan begadang menjamin Tuhan akan lebih mendengarkan. Saya berharap siswa justru beristirahat yang cukup," sambung guru tersebut.

Menurut dia, ada beberapa siswa yang memang tidak akan mengikuti istigasah sampai selesai, terutama para siswi. Beberapa siswanya mengaku, setelah berdoa mau langsung pulang.

"Mereka khawatir akan jatuh sakit karena tidak biasa begadang, terutama siswi," ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, SMAN RSBI 13 Jakarta Utara akan menggelar istigasah semalam suntuk. Doa bersama tersebut dilaksanakan mulai pukul 18.30 sampai pukul 05.00 pada Jumat atau tiga hari menjelang UN digelar, Senin (18/4/2011).

Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas SMAN 13 Nanang Kosasih mengatakan, doa bersama itu dilaksanakan sebagai bekal psikologis para siswa yang akan menghadapi UN.

Namun, tidak semua guru SMAN 13 Jakarta menyetujui digelarnya istigasah atau doa bersama semalam suntuk bagi para siswa pada tiga hari menjelang ujian nasional di sekolah tersebut, Jumat. Para guru khawatir acara tersebut justru semakin membebani mental siswa.
Baca Selengkapnya...

Sabtu, 09 April 2011

Sertifikasi Guru

Oleh Waras Kamdi
KOMPAS.com — Fenomena kecurangan dalam pelaksanaan Sertifikasi Guru Dalam-Jabatan lewat portofolio kian menguak apa yang sesungguhnya telah jadi rahasia umum. Terungkapnya kasus plagiasi 1.700 guru di Riau menunjukkan sebagian kecil dari kecurangan dalam memenuhi portofolio sertifikasi guru.

Banyak masyarakat yang merisaukan aneka pelanggaran itu, tetapi program sertifikasi terus saja melaju atas nama pemenuhan amanat peraturan perundang-undangan. Kerisauan juga berkembang di kalangan pimpinan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), terutama yang diserahi tugas melaksanakan sertifikasi tersebut.

Dalam lima tahun terakhir (2006-2009), lebih dari 500.000 guru telah diberi sertifikat oleh LPTK yang ditunjuk pemerintah (Kompas, 1/11/2010). Namun, hingga detik ini belum ada kabar menggembirakan adanya peningkatan kinerja guru bersertifikat pendidik itu.

Malahan, sertifikasi telah sempurna menyemaikan dan menyuburkan budaya jalan pintas yang amat mencederai sosok profesional guru itu sendiri. Publik hanya tahu guru-guru bersertifikat itu buah karya LPTK. Ketika mereka gagal mewujudkan impian publik akan peningkatan mutu pendidikan di Tanah Air, LPTK-lah yang pertama akan ditagih akuntabilitasnya.

Ini sungguh tagihan yang amat berat bagi LPTK yang terlibat dalam prosesi sertifikasi guru meskipun sesungguhnya sejak awal sejumlah pimpinan LPTK skeptis mengenai sertifikasi massal itu akan membuahkan hasil seperti diidealkan, yakni peningkatan mutu pendidikan.

Alih-alih menuai kemaslahatan, kita lebih banyak menuai kemudaratan. Angka
Rp 60 triliun bukan angka kecil untuk peningkatan guru (Kompas, 1/11/2010).

Potensi ”GiGo”

Jauh lebih penting daripada soal pelanggaran adalah menyempurnakan perangkat dan sistem sertifikasi sungguh perlu dilakukan. Prosesi uji kompetensi yang dilakukan empat tahun terakhir banyak mengandung kelemahan, terutama instrumen dan teknik pengumpulan data. Instrumen penilaian yang menggunakan ukuran persepsional sangat berpotensi menghasilkan data dan informasi yang keliru.

Demikian pula teknik penilaian yang asal menelurkan angka juga berpotensi menghasilkan data penilaian yang keliru. Instrumen penilaian yang mengandalkan persepsi penilai, seperti pada penilaian kompetensi sosial, kompetensi kepribadian, dan kompetensi profesional yang dipercayakan kepada kepala sekolah dan (pengawas), sangat sulit dipercaya dapat menghasilkan data valid.

Data penilaian terhadap variabel ini menunjukkan nyaris semua kandidat mendapatkan skor sempurna karena kepala sekolah dan pemda juga merupakan pihak yang berkepentingan. Demikian juga instrumen penilaian kompetensi profesional dan kompetensi pedagogis yang mengandalkan penilaian persepsional terhadap RPP dan sertifikat tanda mengikuti diklat dan aneka macam kegiatan lain juga tak cukup menggambarkan pengembangan profesional.

Skor pengukuran dengan instrumen serba persepsional itu sesungguhnya tak mampu membedakan antara guru kompeten dan tidak kompeten. Artinya, kesimpulan atas kelulusan guru juga berpotensi mengandung kesalahan. Kekeliruan semacam ini dikenal dengan istilah GiGo (garbage in garbage out), masuk sampah, keluar juga sampah. Apalagi pola penilaian kompetensi dengan menggunakan portofolio yang menyerupai borang ini telah dinodai aneka kecurangan.

Portofolio berbasis kelas

Sesungguhnya, menggunakan portofolio untuk uji kinerja guru dalam rangka sertifikasi adalah hal biasa. Bahkan, portofolio diyakini banyak ahli merupakan cara paling andal untuk mengukur kinerja.
Ada dua hal inti yang dilupakan yang membuat portofolio dimaksud jadi sosok lain yang mencederai portofolio itu sendiri. Pertama, diabaikannya unsur analisis dan refleksi kinerja yang mestinya ditampilkan penyusun. Kedua, tak mengukur kinerja, tetapi hal-hal yang bersifat instrumental-input yang masih diduga memengaruhi kinerja.

Sertifikasi guru seharusnya diletakkan dalam bingkai pengembangan profesionalitas pendidik dan bukan sekadar alat pemenuhan tuntutan yuridis formal yang penuh aroma politik praktis. Proses sertifikasi tak boleh terjebak pada justifikasi lulus-tidak lulus saja, tetapi harus menjadi sebuah prosesi yang fungsional-akademis yang memberikan pengalaman belajar bermakna bagi guru di dalam meningkatkan mutu pembelajaran.

Proses sertifikasi guru yang demikian ini menempatkan penilaian sebagai bagian terintegrasi dalam proses pengembangan profesi. Portofolio itu merupakan analisis reflektif tentang praktik pembelajaran yang dilakukan guru dan dampaknya pada belajar siswa.

Jadi, karakteristik khas portofolio berbasis kelas adalah analitik-reflektif. Portofolio berupa laporan analisis (semacam evaluasi sumatif) terhadap kerja profesional guru mengenai segala keputusan tindakan pembelajaran yang telah dilakukan selama rentang waktu tertentu dalam menjalankan tugas sebagai pendidik.
Penilaian portofolio dapat menggunakan instrumen berupa rubrik, dengan skala pemeringkatan tertentu.

Semangat yang dibawa adalah pemberdayaan guru. Dengan mekanisme penilaian portofolio ini, guru akan mengelola pembelajarannya dengan kerangka pikir pengembangan, dan dengan demikian berdampak pada proses pertumbuhan profesi secara berkelanjutan karena siklus kinerja yang analitik-reflektif akan menjamin pertumbuhan profesional.

Portofolio berbasis kelas juga tak bias kota, yang konon banyak menyediakan fasilitas seminar dan pelatihan. Untuk menyusun portofolio yang baik, guru cukup berkutat dengan urusan pemantapan pembelajaran. Dengan format portofolio berbasis kelas, di pelosok mana pun guru menjalankan tugas, mereka bisa membuat portofolio terbaik dan ”mengujikan” kompetensi dirinya untuk mendapatkan sertifikat pendidik.

Kompetensi pendidik merupakan bangun utuh antara domain proses berpikir dan domain tindak pembelajaran. Artinya, perangkat uji kompetensi juga satu kesatuan bangun utuh yang mampu mengukur domain berpikir dan domain tindakan guru. Portofolio harus mampu menjadi media pengukuhan profesi guru secara konsisten (berkelanjutan).

Sebagai perangkat penilaian kinerja, portofolio harus mampu mengungkap pengetahuan teoretik dan konsepsi (keyakinan) guru, pikiran, dan keputusan guru yang menggambarkan bangun (domain) proses berpikir guru, serta perwujudannya dalam bentuk tindak pembelajaran.

Bangun proses berpikir guru ini sesungguhnya menunjukkan epistemologi dan paradigma belajar dan pembelajaran yang dibangun guru lewat proses resiprokal antara pengalaman berpikir dan bertindak di sepanjang perjalanan karier sebagai agen pembelajaran.
Penulis adalah Ketua LP3 Universitas Negeri Malang; Pegiat Kelompok Peduli Pendidikan Guru
Baca Selengkapnya...

Model Sertifikasi Memble, Perlu Diubah

SEMARANG, KOMPAS.com - Sertifikasi guru yang menuai banyak kritik seharusnya mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Jika pemerintah dan masyarakat belum puas dengan kinerja guru pasca-sertifikasi selama ini, jangan hanya menyalahkan guru, tetapi pengawasan yang ketat dan berkelanjutan terhadap proses sertifikasi haruslah dilakukan dengan melibatkan pemerintah dan pemangku kebijakan di daerah.
Desain sertifikasi harus berubah. Model memberikan sertifikasi pada guru itu yang penting.
-- Sudharto
Demikian pokok persoalan yang mengemuka dalam Diskusi ”Menakar Profesionalitas Guru Pasca-sertifikasi” yang diselenggarakan Kelompok Diskusi Wartawan (KDW) Provinsi Jawa Tengah dan Universitas Negeri Semarang (Unnes), Rabu (22/12/2010) di Kampus Unnes, Gunung Pati, Semarang, Jawa Tengah.

Diskusi yang dibuka Rektor Unnes Sudijono Sastro Atmodjo itu dihadiri sejumlah guru SD, SMP, SMA, serta para dosen, Dinas Pendidikan Jateng, lembaga swadaya masyarakat, penyelenggara sertifikasi guru, dan tokoh pendidikan.

”Desain sertifikasi harus berubah. Model memberikan sertifikasi pada guru itu yang penting,” ujar Sudharto, Ketua Badan Penasihat PGRI Jateng.
Samsudi, Ketua Tim Pengembangan dan Pembinaan Keprofesian Guru Berkelanjutan (PPKGB) Unnes, mengemukakan, dari segi kebijakan, sertifikasi guru tidak ada masalah. Namun, secara proses perlu ada pembaruan-pembaruan, terutama pengembangan dan pembinaan pasca-sertifikasi.

Rektor IKIP PGRI Semarang Muhdi menyatakan sependapat, ke depan model pengembangan keprofesian guru harus dibuat bagus agar mutu pendidikan ditingkatkan. Dalam diskusi tersebut, guru SMPN 2 Semarang, Roberta Sri Wahyuningrum, menegaskan motivasinya mengikuti sertifikasi murni untuk peningkatan kompetensi, bukan untuk motivasi finansial.
Rektor Unnes mengakui bahwa sejauh ini banyak guru dan dosen yang sudah mengikuti sertifikasi, tetapi masyarakat belum menerima dampak dari sertifikasi tersebut. (SON)
Baca Selengkapnya...

Evaluasi Kinerja Guru Bersertifikasi

DELISERDANG, KOMPAS.com - Wakil ketua Komisi D DPRD Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Syarifuddin Rosha mengatakan, kinerja dan kualitas mengajar para guru yang sudah bersertifikasi di daerah itu perlu dievaluasi secara periodik.

 "Melalui program evaluasi secara periodik akan diketahui sejauh mana kinerja masing-masing guru pemegang sertifikasi melaksanakan tugas dan pengabdian dalam upaya mencerdaskan para siswa," katanya di Lubuk Pakam, Minggu.

 Guru adalah pendidik profesional, seperti diamanatkan dalam Undang-Undang No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang No.14/2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

 Mengacu pada aturan dan perundang-undangan tersebut, lanjut dia, guru dipersyaratkan memiliki kualifikasi akademik minimal Sarjana atau Diploma IV (S1/D-IV) yang relevan dan menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran.

 Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Sertifikasi guru bertujuan antara lain untuk menentukan kelayakan dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik profesional.

 Tujuan lainnya yakni meningkatkan proses dan hasil pembelajaran, meningkatkan kesejahteraan guru, meningkatkan martabat guru dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.

Dia mengatakan, pemberian sertifikasi guru harus diikuti dengan peningkatan kesejahteraan guru. Bentuk peningkatan kesejahteraan tersebut berupa pemberian tunjangan profesi bagi guru yang memiliki sertifikat pendidik.

Tunjangan tersebut berlaku bagi guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) maupun bagi guru yang berstatus bukan pegawai negeri sipil atau guru yang mengajar di sekolah swasta.
Syarifuddin menegaskan, anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk tunjangan para guru pemegang sertifikasi dari tahun ke tahun terus meningkat.

Di Kabupaten Deli Serdang, misalnya, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) setempat untuk tahun 2010 mengalokasikan anggaran pembangunan pendidikan lebih 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar Rp1,6 triliun lebih.

Alokasi anggaran pembangunan pendidikan relatif besar di Deli Serdang tersebut. Menurut politisi dari Partai Bintang Reformasi (PBR) itu, patut dibarengi peningkatan perbaikan kualitas dan prestasi para murid.
Sejalan dengan hak yang diterima para guru tersebut, kata Syarifuddin, setiap guru pemegang sertifikasi wajib menunjukkan kinerja terbaik dalam menjalankan tugas dan pengabdian untuk mencerdaskan para peserta didik.
Baca Selengkapnya...

Kualitas Guru, Beban Persoalan Nasional

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejauh ini belum ada rumusan tentang prototipe guru Indonesia. Pendidikan kedinasan untuk guru perlu dipertimbangkan untuk mengatasi persoalan kualitas dan sebaran guru.
Perhatian terhadap kualitas guru masih minim karena memperbaiki kualitas guru sama dengan mengatasi tujuh puluh persen persoalan pendidikan nasional.
-- Rohmani
"Rumusan itu harus ada dan jelas dan tentu bisa dijabarkan dari undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Bila prototipe guru itu sudah ada dan jelas, tinggal bagaimana menciptakan prototipe rumusan guru tersebut," kata anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari Fraksi PKS, Rohmani, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (31/3/2011).

Persoalan perlunya prototipe guru tersebut, lanjut dia, sebelumnya sudah dikemukakannya dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) antara Komisi X DPR dan Asosiasi Lembaga Perguruan Tinggi Tenaga Kependidikan Indonesia (ALPTKI) di Gedung DPR RI, Selasa (29/3/2011) lalu. Dalam rapat tersebut mengemuka pembahasan bahwa kualitas guru tetap menjadi persoalan mendasar dalam dunia pendidikan di tanah air.

"Sejauh ini kualitas guru masih rendah bila dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Ironisnya, perhatian terhadap kualitas guru masih minim karena memperbaiki kualitas guru sama dengan mengatasi tujuh puluh persen persoalan pendidikan nasional," ujar Rohmani.

"Sayangnya, program sertifikasi guru yang ada selama ini bukan jawaban terhadap persoalan kualitas guru. Sertifikasi tersebut baru menjawab persoalan kesejahteraannya saja," lanjutnya.

Untuk itu, kata Rohmani, pendidikan kedinasan menjadi penting, terutama untuk mengatasi kesenjangan penyebaran guru. Sejauh ini sebaran guru di tanah air belum merata, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Pendidikan kedinasan untuk guru ini sebetulnya juga disebutkan dalam UU Guru dan Dosen pada pasal 21-23. Payung hukumnya sudah jelas dan tinggal menunggu pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) tentang pendidikan kedinasan dan berasrama untuk guru.
Baca Selengkapnya...

Antikekerasan di Sekolah

Banyaknya kejadian kekerasan di sekolah membuat Venna Melinda (38), anggota Komisi X DPR, prihatin. Dia pun sibuk memperjuangkan Rancangan Undang-Undang tentang Antikekerasan di Sekolah.

”Untuk memperjuangkan RUU (Rancangan Undang-Undang) Antikekerasan di Sekolah membutuhkan waktu panjang. Kalaupun tak jadi undang-undang, setidaknya bisa masuk kurikulum,” ucapnya.
Kekerasan di sekolah, menurut Venna, bisa terjadi pada siapa saja, guru kepada murid dan sebaliknya atau antarmurid.

”Di negara kita, paling banyak yang terjadi (kekerasan) dari guru kepada murid. Kadang kala murid salah sedikit saja, guru sudah nabok. Seharusnya ada sanksi untuk kekerasan di sekolah,” ujar Venna, yang juga Putri Indonesia tahun 1994.

Dia mengusulkan agar semua guru mendapat sertifikasi pendidikan psikologi sehingga bisa menghadapi berbagai tingkah laku para murid.

Meski sudah menjadi anggota DPR, Venna tak melupakan hobinya menari salsa. Sambil menyalurkan hobinya, dia juga membuat lomba senam di daerah pemilihannya (dapil), Jawa Timur VI.

”Saya bikin ’Omahe Venna’ di dapil saya. Di rumah aspirasi itu, saya mengadakan lomba senam dengan berbagai hadiah. Kadang saya juga mengajarkan salsa kepada konstituen, dan mereka pasti senang. Apalagi gratis,” ceritanya. (SIE)

By: Kompas.com
Baca Selengkapnya...

Berhentilah Sekolah Sebelum Terlambat

Oleh Yudhistira ANM Massardi
KOMPAS.com - Jika orientasi pendidikan adalah untuk mencetak tenaga kerja guna kepentingan industri dan membentuk mentalitas pegawai, --katakanlah hingga dua dekade ke depan--, yang akan dihasilkan adalah jutaan calon penganggur. Sekarang saja ada sekitar 750.000 lulusan program diploma dan sarjana yang menganggur.

Jumlah penganggur itu akan makin membengkak jika ditambah jutaan siswa putus sekolah dari tingkat SD hingga SLTA. Tercatat, sejak 2002, jumlah mereka yang putus sekolah itu rata- rata lebih dari 1,5 juta siswa setiap tahun.

Dalam "kalimat lain", ada sekitar 50 juta anak Indonesia yang tak mendapatkan layanan pendidikan di jenjangnya. Jadi, untuk apa sebenarnya generasi baru bangsa bersekolah hingga ke perguruan tinggi?
Jika jawabannya agar mereka bisa jadi pegawai, fakta yang ada sekarang menunjukkan orientasi tersebut keliru. Dari sekitar 105 juta tenaga kerja yang sekarang bekerja, lebih dari 55 juta pegawai adalah lulusan SD! Pemilik diploma hanya sekitar 3 juta orang dan sarjana sekitar 5 juta orang. Jika sebagian besar lapangan kerja hanya tersedia untuk lulusan SD, lalu untuk apa anak-anak kita harus buang-buang waktu dan uang demi melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi?

Sir Ken Robinson, profesor pakar pendidikan dan kreativitas dari Inggris, dalam orasi-orasinya, yang menyentakkan ironisme: menggambarkan betapa sekarang ini sudah terjadi inflasi gelar akademis sehingga ketersediaannya melampaui tingkat kebutuhan. Akibatnya, nilainya di dunia kerja semakin merosot.
Lebih dari itu, ia menilai sekolah-sekolah hanya membunuh kreativitas para siswa. Maka, harus dilakukan revolusi di bidang pendidikan yang lebih mengutamakan pembangunan kreativitas.

Paul Krugman, kolumnis The New York Times yang disegani, dalam tulisannya pada 6 Maret 2011, menegaskan fakta-fakta di Amerika Serikat bahwa posisi golongan kerah putih di level menengah— yang selama beberapa dekade dikuasai para sarjana dan bergaji tinggi--, kini digantikan peranti lunak komputer. Lowongan kerja untuk level ini tidak tumbuh, malah terus menciut. Sebaliknya, lapangan kerja untuk yang bergaji rendah, dengan jenis kerja manual yang belum bisa digantikan komputer, seperti para petugas pengantaran dan kebersihan, terus tumbuh.

Kreativitas dan imajinasi

Fakta lokal dan kondisi global tersebut harus segera diantisipasi oleh para pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan. Persepsi kultural dan sosial yang mengangankan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan semakin mudah mendapatkan pekerjaan adalah mimpi di siang bolong!
Namun, jika orientasi masyarakat tetap untuk "jadi pegawai", yang harus difasilitasi adalah sekolah-sekolah dan pelatihan-pelatihan murah dan singkat. Misalnya untuk menempati posisi operator, baik yang manual seperti pekerjaan di bidang konstruksi, manufaktur, transportasi, pertanian, ataupun yang berbasis komputer di perkantoran.

Untuk itu, tak perlu embel-embel (sekolah) "bertaraf internasional" yang menggelikan itu karena komputer sudah dibuat dengan standar internasional. Akan tetapi, kualitas peradaban sebuah bangsa tak cukup hanya ditopang oleh para operator di lapangan. Mutlak perlu dilahirkan para kreator yang kaya imajinasi. Oleh karena itu, seluruh potensi kecerdasan anak bangsa harus dibangun secara lebih serius yang hanya bisa dicapai jika rangsangannya diberikan sejak usia dini.

Maka, diperlukan metode pengajaran yang tak hanya membangun kecerdasan visual-auditori-kinestetik, juga kreativitas dan kemandirian. Kata kuncinya adalah "kreativitas" dan "imajinasi"; dua hal yang belum akan tergantikan oleh komputer secerdas apa pun!
Zaman terus berubah. Sistem pendidikan dan paradigma usang harus diganti dengan yang baru. Era teknologi analog sudah ketinggalan zaman. Kini kita sudah memasuki era digital. Itu artinya, konsep tentang ruang dan waktu pun berubah.

Hal-hal yang tadinya dikerjakan dalam waktu panjang, dengan biaya tinggi, dan banyak pekerja, jadi lebih ringkas. Maka, tujuan paling mendasar dari suatu sistem pendidikan baru harus bisa membangun semangat "cinta belajar" pada semua peserta didik sejak awal. Dengan spirit dan mentalitas "cinta belajar", apa pun yang akan dihadapi pada masa depan, mereka akan bisa bertahan untuk beradaptasi, menguasai, dan mengubahnya.

Membangun semangat "cinta belajar" tak perlu harus ke perguruan tinggi. Kini seluruh ilmu pengetahuan sudah tersedia secara digital, bisa diakses melalui komputer di warnet ataupun melalui telepon genggam. Jadi, cukup berikan kemampuan menggunakan komputer, mencari sumber informasi yang dibutuhkan di internet, dan bahasa Inggris secukupnya karena di dunia maya tersedia mesin penerjemah aneka bahasa yang instan.

Anak-anak cukup sekolah 12 tahun saja (mulai dari pendidikan anak usia dini, PAUD)! Mereka tidak usah jadi pegawai. Dunia kreatif yang bernilai tinggi tersedia untuk mereka, sepanjang manusia masih ada.

Penulis adalah Sastrawan; Pengelola Sekolah Gratis untuk Dhuafa, TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi
Baca Selengkapnya...

Deklarasi Belajar Tanpa Rasa Takut

JAKARTA, KOMPAS.com - Perwakilan siswa dari 15 SMA/SMK di Jakarta membacakan deklarasi penolakan terhadap segala bentuk kekerasan di sekolah (bullying), Sabtu (9/4/2011), di GOR Soemantri Brojonegoro, Jakarta. Deklarasi stop kekerasan di sekolah diprakarsasi Plan Indonesia bersama Kementerian Pendidikan Nasional dan Dinas Pendidikan DKI Jakarta.

Pada kesempatan itu ketiga pihak menandatangani nota kesepahaman terkait kampanye penghentian kekerasan di sekolah. Survei yang dilakukan Plan Indonesia pada 2008 menunjukkan hampir 70 persen siswa SMU menyatakan terjadi kekerasan dan pelecehan verbal, mental ataupun fisik di lingkungan sekolah mereka.

Guna mempromosikan kegiatan ini, pihak penyelenggara menggelar kompetisi sepakbola untuk siswi SMA/SMK di Jakarta. Kompetisi sepakbola ini digelar khusus untuk siswi, karena merupakan pendekatan inovatif dan juga merupakan bagian dari kampanye Global Plan.

"Global Plan menerapkan tiga pedoman dasar, yakni belajar tanpa rasa takut, karena saya anak perempuan, dan pencatatan kelahiran," kata Child Protection Program Manager Plan Indonesia, Amrullah.
Amrullah menjelaskan, untuk di Jakarta, antara "belajar tanpa rasa takut" dan "karena saya anak perempuan", di gabung menjadi satu kegiatan, yaitu dalam bentuk kompetisi sepakbola siswi.
Baca Selengkapnya...