Rabu, 27 April 2011

SKS (Sistem Kebingungan Sekolah)

Tanggal 12 Desember 1948, Agnes Gonxha Bojaxhiu atau yang kemudian dikenal sebagai Ibu Teresa, mendirikan sekolah di sebuah wilayah kumuh India. Sekolah gratis ini didedikasikan untuk anak-anak dari keluarga miskin. Namun, akibat tidak cukupnya dana untuk membangun gedung sekolah, Ibu Teresa melakukan proses belajar mengajar secara terbuka di sebuah taman yang sudah tidak lagi terawat.

Belajar membaca dan menulis menjadi materi dasar para anak asuh Ibu Teresa. Lebih dari itu, Ibu Teresa juga mengajarkan cara-cara menjaga kesehatan diri dan lingkungannya.

Sekelumit pengabdian Ibu Teresa mengingatkan kita pada dua pilar dasar pendidikan yaitu terbuka dan kontekstual. Pendidikan tidak dapat diberikan hanya untuk kaum berduit, tetapi juga untuk kaum yang dianggap pinggiran. Pendidikan harus bersifat universal yang terjangkau semua lapisan masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada lagi sekolah berlabel khusus dengan biaya yang sangat mahal dan hanya mampu "dibeli" oleh keluarga berkemampuan ekonomi tinggi.

Pendidikan yang dicontohkan Ibu Teresa menunjukkan kekinian sebuah pembelajaran. Pendidikan harus selalu berkembang sesuai dengan konteks situasi, lingkungan, maupun karakter para peserta didik. Cara menjaga kesehatan diri dan lingkungan menjadi hal yang lebih mutlak diperlukan bagi anak-anak di kawasan kumuh daripada belajar Fisika maupun Kimia.

Universal
Sistem kredit semester (SKS) di jenjang pendidikan SMP dan SMA yang diwacanakan pemerintah dikhawatirkan justru akan bertolak belakang dengan pola pendidikan yang bersifat universal seperti diperjuangkan Ibu Teresa, peraih Nobel Perdamaian. SKS hanya dapat diterapkan jika sekolah memiliki jumlah kelas yang memadahi untuk moving class. Akibatnya, hanya sekolah dengan sarana lengkap yang dapat menerapkan sistem ini. Sekolah pinggiran dengan kelas kecil rawan tergilas dengan kebijakan ini. Belum lagi jika SKS menjadi ajang jual-beli. Bukan lagi membayar SPP per bulan, tetapi membayar per SKS dengan akumulasi harga yang bisa membumbung tinggi. Alih-alih dari situasi ini adalah bisnis pendidikan, antikeluarga kurang mampu, dan pendidikan yang tidak lagi bersifat terbuka serta universal.

Lambat laun kita akan terjebak dalam dilema seperti program Sekolah Berstandar Internasional (SBI). Harapan ingin membuat siswa berwawasan internasional justru memunculkan sekat pendidikan antara si kaya dengan si miskin. SBI tidak lagi dapat dijangkau oleh seorang siswa cerdas dengan ekonomi orangtua pas-pasan. Sekolah pinggiran dengan sedikit siswa, fasilitas kurang, dan gedung yang hampir roboh makin merana manakala dana Rp 500 juta per tahun justru digelontorkan bagi sekolah berlabel SBI yang notabene telah memiliki tataran SPP sangat mahal. Apakah tidak lebih baik jika pemerintah terlebih dulu memperbaiki fasilitas belajar dan peningkatan kompetensi guru, sebelum menerapkan SKS?

Keutuhan pribadi
Penerapan kurikulum dengan SKS memang cocok jika diterapkan pada jenjang perguruan tinggi. Penggunaan SKS pada tataran pendidikan dasar, khususnya tingkat SMP, perlu dikaji lebih mendalam dengan mempelajari konteks para peserta didik. Peserta didik pada usia remaja tidak sekadar ingin memperoleh transfer ilmu. Lebih dari itu, mereka membutuhkan sosialisasi dan penyadaran relasi dengan lingkungan sesuai dengan masa perkembangan psikologisnya.

Menurut Piaget, sebagian besar perkembangan kognitif datang dari sebuah pengalaman fisik, tindakan, dan interaksi aktif anak dengan lingkungan. Sementara itu, interaksi sosial dengan teman sebaya akan membantu memperjelas pemikiran untuk mencapai sebuah pemikiran yang logis analitis.

Masih menurut Piaget, setiap individu dari bayi yang baru lahir sampai dewasa mengalami empat tingkat perkembangan kognitif, yaitu tingkat sensori motorik, praoperasional, operasional konkret, dan operasi formal. Usia remaja SMP merupakan pengenalan tahapan operasional formal. Pada usia ini yang perlu dipertimbangkan adalah aspek-aspek perkembangan psikologis remaja. Remaja mengalami tahap transisi bernalar dari penggunaan operasional konkret ke penerapan operasi formal. Mereka mulai menyadari keterbatasan-keterbatasan pemikiran dan mulai bergelut dengan konsep-konsep yang ada di luar pengalaman mereka sendiri. Ini berarti, mereka membutuhkan lebih banyak interaksi sosial untuk menciptakan sebuah pengalaman.

Dengan menerapkan SKS, seorang peserta didik dimungkinkan dapat menyelesaikan tingkat pendidikannya hanya dalam tiga atau empat semester dari enam semester yang ditawarkan. Hal ini tidak berbeda jauh dengan program kelas akselerasi yang menampung anak-anak cerdas dan menyelesaikan suatu jenjang pendidikan lebih cepat dari seharusnya. Lepas dari kebingungan pemerintah tentang ujian nasional yang dihubungkan dengan pemberlakuan SKS (Kompas, 26/8/2010); jika tidak hati-hati, seperti diungkapkan C Wright Mills, pendidikan akan mengalami reduksi nalar menjadi rationality without reason dengan menghasilkan produk cheerful robots; punya rasio tanpa akal budi. Padahal, suatu pendidikan seharusnya sejalan dengan Pasal 26 Universal Declaration of Human Rights Ayat 2 yang menyatakan, pendidikan ditujukan ke arah perkembangan kepribadian manusia serta untuk memperkokoh penghargaan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia. Dengan kata lain, pendidikan bertujuan membentuk pribadi yang utuh, bukan sekadar berilmu pengetahuan.

R Arifin Nugroho
R ARIFIN NUGROHO Guru SMA Kolese De Britto, Yogyakarta

0 komentar:

Posting Komentar